Published on

Menguak Sejarah dan Perkembangan Gurah: Warisan Pengobatan Tradisional Imogiri

Authors

Di tengah pesatnya perkembangan dunia medis modern, pengobatan tradisional masih memiliki tempat istimewa di hati masyarakat Indonesia. Salah satu praktik pengobatan tradisional yang menarik perhatian adalah gurah, sebuah metode penyembuhan yang berakar kuat di kawasan Imogiri, Yogyakarta. Gurah adalah metode pengobatan tradisional yang melibatkan penetasan ekstrak atau cairan dari akar pohon senggugu (Clerodendron serratum Spreng) ke dalam lubang hidung. Tujuan utamanya adalah untuk menyembuhkan berbagai penyakit terkait hidung, saluran pernapasan, dan menjernihkan suara. Istilah "gurah" sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti membersihkan atau "nguras".

Asal Usul Gurah di Imogiri:

Kisah gurah tidak bisa dipisahkan dari sosok KH. Ahmad Marzuqi Romli, seorang ulama dan pakar pengobatan tradisional asal Giriloyo, Imogiri. Lahir pada tahun 1901, Kiai Marzuqi menghabiskan masa mudanya dengan menimba ilmu di berbagai pesantren ternama di Jawa.

Perjalanan Keilmuan KH. Ahmad Marzuqi Romli:

  1. Pondok Kanggotan Pleret (1905-1910): Mendalami ilmu fikih
  2. Pondok Pesantren Termas, Pacitan (1910-1914): Mempelajari fikih dan tasawuf
  3. Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan (1915-1918): Menjadi santri generasi awal
  4. Pondok Pesantren Somolangu, Kebumen (1919-1922): Ditunjuk sebagai badal kiai
  5. Pondok Pesantren Lirap, Kebumen (1922-1925)
  6. Pondok Pesantren Jamsaren, Solo (1926-1927)
  7. Pondok Pesantren Krapyak (1927-1931): Menghafal Al-Quran 30 juz

Penemuan Metode Gurah:

Sekitar tahun 1930-an, KH. Ahmad Marzuqi Romli mulai mengembangkan metode gurah. Inspirasi ini diduga berasal dari perpaduan pengetahuan yang ia peroleh selama menimba ilmu di berbagai pesantren, terutama dari ajaran Mbah Dalhar Watucongol, KH. Ma'ruf, KH. Kholil Bangkalan, dan KH. Dimyati Termas. Selain itu, kitab-kitab seperti Syamsul Maarif dan Thibbun Nabawi juga berperan penting dalam pembentukan metode gurah.

Filosofi di Balik Gurah:

Gurah tidak hanya dipandang sebagai metode pengobatan fisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual. Proses gurah dianggap sebagai bentuk pembersihan diri, baik secara jasmani maupun rohani. Hal ini tercermin dari ritual doa yang dilakukan sebelum prosedur gurah dimulai.

Tanaman Srigunggu: Kunci Utama Gurah

Penggunaan tanaman srigunggu (Clerodendron serratum Spreng) sebagai bahan utama gurah merupakan hasil dari kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Tanaman ini tumbuh liar di hutan dan pekarangan masyarakat Imogiri, menjadikannya bahan yang mudah diperoleh dan berkelanjutan.

Penyebaran Ilmu Gurah: Seiring bertambahnya popularitas gurah, KH. Ahmad Marzuqi Romli mulai mengajarkan teknik ini kepada santri dan keluarganya. Tiga murid utama yang mendapatkan ilmu gurah beserta ijazah doa adalah:

  1. Mbah Yazidi
  2. Haji Muhyidin
  3. Haji Moh. Hisyam (satu-satunya yang masih hidup hingga saat ini)

Perkembangan Gurah di Era Modern:

  1. Masa Keemasan (1990-an):

    • Popularitas meningkat setelah beberapa artis seperti Nicky Astrea, Iwan Fals, dan Elma Theana mencoba gurah
    • Giriloyo mulai dikenal sebagai "Kampung Gurah"
    • Jumlah praktisi gurah meningkat signifikan
  2. Inovasi Produk Gurah:

    • Tahun 1988: H. Djawadi memprakarsai pembuatan kapsul gurah
    • Pengembangan teh gurah sebagai alternatif metode tradisional
  3. Penelitian dan Pengakuan Ilmiah:

    • Berbagai studi dilakukan untuk menguji efektivitas gurah
    • Tahun 2000: Penelitian "Perspektif Cara Pengobatan Gurah di Provinsi Jawa Tengah" oleh SP3T Jawa Tengah
    • Tahun 2005: Publikasi "Rinosinusitis Kronis Ditinjau Dari Pengobatan Modern dan Tradisional di Indonesia Khususnya di Yogyakarta" oleh Prof. dr. Soepomo Soekardono, Sp. THT-KL(K)
  4. Gurah sebagai Identitas Budaya:

    • Menjadi salah satu parameter Desa Budaya di Imogiri
    • Diakui dalam Peraturan Gubernur DIY Nomor 36 Tahun 2014 tentang Desa/Kelurahan Budaya

Tantangan dan Peluang Gurah di Masa Depan:

  1. Tantangan:

    • Penurunan jumlah praktisi gurah aktif
    • Persepsi masyarakat tentang "menakutkannya" prosedur gurah
    • Kompetisi dengan metode pengobatan modern
  2. Peluang:

    • Potensi pengembangan wisata kesehatan
    • Inovasi produk turunan gurah (kapsul, teh, dll.)
    • Penelitian lebih lanjut untuk validasi ilmiah

Pelestarian Gurah sebagai Warisan Budaya:

  1. Dokumentasi dan Penelitian:

    • Mendokumentasikan pengetahuan dan teknik gurah
    • Melakukan penelitian komprehensif tentang manfaat dan efek samping gurah
  2. Edukasi dan Pelatihan:

    • Mengadakan workshop dan pelatihan untuk generasi muda
    • Memasukkan pengetahuan tentang gurah dalam kurikulum lokal
  3. Promosi dan Pariwisata:

    • Mengembangkan paket wisata kesehatan berbasis gurah
    • Mempromosikan gurah sebagai bagian dari warisan budaya Yogyakarta
  4. Regulasi dan Standarisasi:

    • Menyusun standar praktik gurah yang aman dan efektif
    • Mengatur sertifikasi praktisi gurah untuk menjamin kualitas layanan

Kesimpulan:

Gurah, sebagai warisan pengobatan tradisional dari Imogiri, telah melewati perjalanan panjang sejak pertama kali dikembangkan oleh KH. Ahmad Marzuqi Romli. Dari sebuah praktik lokal, gurah telah berkembang menjadi metode pengobatan yang dikenal luas dan bahkan menjadi identitas budaya Imogiri. Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, gurah tetap memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan upaya pelestarian yang tepat dan inovasi berkelanjutan, gurah dapat terus menjadi warisan berharga yang menghubungkan generasi masa lalu, kini, dan masa depan.